Pages

Selasa, 31 Januari 2012

Memaknai Kesuksesan

Sendiri dalam menikmati kesenangan, sendiri dalam menikmati kebahagiaan. Inilah arti sesungguhnya kesuksesan?

Di depan kaca, dengan gagahnya Hadi mematut dasinya. "Amboi, bertambah gagah diriku...," gumamnya.

"Hadi... Hadi...! Cepat, sarapannya keburu dingin." Teriakan Bundanya mengingatkan dirinya dengan perutnya yang dari tadi keroncongan. Dengan gerakan cepat, Hadi menyambar roti isi pisang buatan sang Bunda.

Masyhadi, pemuda jujur yang memulai karirnya langsung dari level middle manager ini memang selalu beruntung. Selesai dari UI, 1990, ia mendapat beasiswa meneruskan studinya ke Australia, mengambil Master of Finance. Setelah nyambi bekerja di luar negeri, ia kembali ke Jakarta dan bekerja di salah satu bank asing. Karirnya semakin hari semakin baik dan kali ini ia dipromosikan menjadi Country Manager.


"Ingat Had, kesuksesanmu buat siapa..?" tanya ayahnya mengingatkan.


"Untuk ayah, ibu, untuk calon istri saya..."


"Cukup sampe di situ..? Masih ada deretan nama yang tak kamu sebut lho Had.."


Hadi mengangguk. Hadi yang sebentar lagi menjadi Country Manager, tetaplah seorang yang penurut. Ini yang membuat ayah dan ibunya bersyukur.


Hadi dinasehati ayahnya ketika acara wisuda pertama kali di UI. Kata ayahnya, andai tidak ada orang kaya yang masih memiliki nurani, Hadi tidak bisa sekolah setinggi ini.


Ternyata, dulu, ayah Hadi adalah seorang tukang kebun, tentu saja tukang kebun yang beruntung. Majikannya menyekolahkannya hingga lulus IKIP (sekarang UNJ). Selanjutnya ia diangkat sebagai supir dan merangkap asisten pribadi sang majikan. Cerita berlanjut hingga ayah Hadi berkeluarga dan mempunyai Hadi sebagai anaknya.


"Andai ayah tidak disekolahkan lebih lanjut oleh majikan ayah, mungkin selamanya ayah akan menjadi tukang kebun."


"Sekarang, ayah selalu merasa punya piutang terhadap orang miskin, yang kehidupannya di bawah ayah. Dan ayah mau kamu juga begitu, kalau bisa lebih dari ayah."


Kesuksesan, menurut ayah Hadi adalah ketika bisa menjadikan orang lain turut merasakan kesuksesan yang ia rasakan. Kesuksesan ada pada berbagi, kesuksesan ada pada kepedulian.


Hadi tersenyum. Bukan sekali ini ia diingatkan oleh ayahnya. bAik yang dilakukan secara lisan ataupun lewat contoh. Sewaktu Hadi masih kecil, ia dibawa ke taman pekuburan yang tidak jauh dari rumah Hadi. Ayah Hadi menunjuk bocah yang sedang membelai pusara ibunya. Ayahnya menunjuk sambil berkata, "Had..lihat, bagaimana kalau kamu yang menjadi anak itu..."


Hadi kecil menangis, sambil menggelengkan kepala tanda tidak mau jadi anak itu. Ayahnya merogoh coklat yang rupanya sudah dipersiapkannya. "Dekati dia dan kasih coklat ini.."


Hadi menghampiri anak itu dan memberikan coklatnya.


"Kenapa kamu menangis?" tanya Hadi.

Anak itu tidak menjawab.


Hadi tidak tahu kenapa anak itu tidak mau menjawab. Ia baru tahu ketika Hadi sudah besar. Anak itu bukannya tidak mau menjawab, melainkan ia tidak mampu berkata-kata lagi. Ibu anak tersebut diperkosa lalu dibunuh di pasar Kebayoran. Ibu sekaligus ayah bagi anak tersebut pergi tanpa sempat anak tersebut meminta kepada Allah agar ibunya tetap diperkenankan hidup. Tidak ada lagi tempat mengadu bila ia diganggu anak lain. Tidak ada lagi tempat meminta bila ia ingin jajan.

Kini ayahnya mengingatkan kembali betapa beruntung diri dan keluarganya. Terutama bila dibandingkan dengan mereka yang hidup di bawah standar. Masihkah ia mau berpelit-pelit ria jika Allah justru teramat baik kepadanya? Masihkah ia tidak mau berbagi ketika justru Allah menitipkan amanah kesenangan dan kekayaan kepadanya?

Ayahnya kembali bertanya, "...Gimana Had? Buat siapa kesuksesan kamu...?"

"Buat orang banyak..!!" sahutnya mantap.

Bagaimana dengan kita..? Sanggupkah kita meraba penderitaan orang lain..? Untuk kemudian kita ulurkan tangan..?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar